Minggu, 08 Januari 2017

REGULASI PETERNAKAN DI INDONESIA

Usaha peternakan di Indonesia secara tradisional sudah ada jauh sebelum proklamasi kemerdekaan. Semakin berjalannya waktu, usaha yang dimiliki peternak semakin efisian dan berkembang. Upaya awal dalam memberikan regulasi bidang peternakan di Indonesia berawal dalam Staatsblad 1936 No. 614 tentang pemotongan ternak besar betina bertanduk. Peraturan tersebut berisi mengenai pembatasan ternak betina produktif dalam upaya menjaga produktivitas dan populasi ternak. Peraturan tersebut dipandang perlu oleh pemerintah Hindia Belanda saat itu.
Setelah proklamasi kemerdekaan, pemerintah masih disibukkan mengenai kedaulatan sehingga belum terbentuk regulasi baru mengenai peternakan. Hingga pada tahun 1967 terbentuklah UU No. 6 Tahun 1967 mengenai ketentuan-ketentuan pokok peternakan dan kesehatan hewan. Aturan tersebut berisi mengenai kejelasan posisi usaha peternakan dan peraturan dalam veteriner.
Tahun 1979 dibentuk regulasi dalam Instruksi Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian No. 18/1979 dan No. 5/Ins/Um/3/1979 mengenai pencegahan dan pelarangan pemotongan ternak sapi/kerbau betina bunting dan atau susu sapi/kerbau betina bibit. Peraturan tersebut secara garis besar membatasi pemotongan ternak betina dan merupakan turunan dari Staatsblad 1936 No. 614. Dalam hal ini pemerintah berpandangan mengenai pentingnya jumlah populasi ternak betina produktif sebagai penunjang populasi ternak.
Tahun 1983 pemerintah mengeluarkan peraturan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 22 Tahun 1983 mengenai kesehatan masyarakat veteriner. Peraturan ini dibentuk atas pandangan pemerintah mengenai potensi zoonosis di Indonesia. Berdasarkan potensi tersebut regulasi mengenai penanganan dan penanggulangan zoonosis dibentuk agar dalam kedepannya kejadian dapat tertangani dengan baik.
Setelah masa reformasi pemerintah mengeluarkan beberapa regulasi di bidang peternakan. Regulasi tersebut lebih berarah pada aspek ekonomi usaha peternakan. Otonomi daerah diberlakukan yang memberikan kewenangan pemerintah daerah membentuk peraturan daerah. Oleh karena itu beberapa pemerintah daerah mengeluarkan peraturan yang pada intinya merupakan turunan dari UU No. 6 Tahun 1967 mengenai ketentuan-ketentuan pokok peternakan dan kesehatan hewan. Contoh dari perda yang dibuat adalah Peraturan Daerah Kota Tarakan nomor 18 tahun 2003 tentang izin usaha budidaya peternakan; Peraturan Daerah Kota Makassar nomor 4 tahun 2003 tentang ketentuan perizinan usaha di bidang peternakan dan pengenaan retribusi atas pemeriksaan kesehatan hewan serta daging dalam wilayah Kota Makassar; Peraturan Daerah Kabupaten Padang Pariaman nomor 6 tahun 2009; dan Peraturan Daerah Kabupaten Poso nomor 7 tahun 2010. Perda tersebut di atas lebih membahas regulasi mengenai aspek ekonomi usaha peternakan dan retribusi berdasarkan sekala usaha.
Lain halnya Perda di atas, terdapat pertentangan pada Undang – undang nomor 18 tahun 2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan. Hal yang dipertentangkan adalah Pasal 44 ayat (3), Pasal 59 ayat (2) dan (4), serta Pasal 68 ayat (4). Pasal tersebut telah melalaikan aspek keamanan konsumsi daging impor. Sehingga dinilai pemerintah mengabaikan keamanan pangan dan membuka impor besar besaran. Pada Pasal 44 ayat (3) disebutkan bahwa pemerintah tidak memberikan kompensasi atas depopulasi terhadap hewan yang terjangkit penyakit. Dari penjelasan tersebut akan memebrikan dampak negatif terhadap peternak dan kemajuan peternakan nantinya. Walaupun terdapat pertentangan, undang-undang ini tetapi sudah dijadikan sebagai dasar penyusunan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pandangan penulis secara garis besar perundang-undangan dalam bidang peternakan di Indonesia memiliki beberapa kekurangan, diantaranya :
  • Keberadaan perda yang mengatur peternakan di daerah namun secara garis besar merupakan turunan dari peraturan di atasnya. Dengan demikian hanya akan menimbulkan ketimpangan dan menurunkan potensi pengembangan daerah. Penurunan potensi pengembangan daerah dapat terjadi karena perda digeneralisasikan sehingga potensi pada suatu daerah dapat tertutupi.
  • Kurangnya peraturan peternakan yang mencakup keseluruhan bidang. Peraturan saat ini hanya beroreintasi pada aspek ekonomi usaha peternakan. Padahal dengan adanya aturan mengenai kesejahteraan hewan dapat berdampak baik pada perbaikan produk peternakan. Aspek peraturan mengenai manajemen limbah yang lebih spesifik diperlukan pula untuk menjaga kondisi alam nasional dan dunia.
Perbaikan dalam aspek regulasi peternakan sangat diperlukan sehingga menciptakan kondisi yang lebih baik pada dunia peternakan. Mengingat bahwa potensi sumberdaya ini sangat baik serta menilik negara maju yang memiliki regulasi bidang pertanian dan peternakan secara menyeluruh. Kesemua pandangan tersebut pada dasarnya sebagai refleksi bahwa pengelolaan sumber daya pada tanah air ini bertujuan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia seperti yang tertuang pada Pancasila dan UUD 1945.


Sumber : Setyo,Hermawan. 2014. Regulasi Peternakan Di Indonesia. http://hermawansetyo.my.id/regulasi-peternakan-di-indonesia-sudah-layakkah/. 8 Januari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar