Berbicara peternakan, maka tidak akan jauh dari definisi hewan dan
urusannya. Perkembangan peternakan saat ini sangat dipengaruhi lebih
besar oleh faktor ekonomi dibanding oleh faktor teknis peternakan itu
sendiri. Berbagai tantangan dan permasalahan muncul seiring dengan
meningkatnya trend kebutuhan masyarakat akan pemenuhan aspek pangan asal
hewan. Dalam beberapa dekade terakhir tantangan utama dalam bidang
peternakan adalah lebih pada bagaimana tatakelola peternakan nasional
baik dimulai dari hulu sampai hilir. Tatakelola Peternakan yang saat ini
dilakukan oleh pemerintah Indonesia lebih pada bagaimana memenuhi
permintaan pasar baik dalam negeri maupun luar negeri. Permintaan pasar
dalam negeri sebaiknya dipenuhi oleh kapasitas produksi peternakan dalam
negeri, namun pada saat ini kenyataannya sebagian besar pasar dalam
negeri banyak dipenuhi dari pasokan luar negeri ( impor). Hal ini banyak
dipengaruhi oleh berbagai faktor dalam negeri itu sendiri yang kurang
memperhatikan potensi dan peningkatan kapasitas pengembangan peternakan
dalam negeri itu sendiri. Bisa kita ambil contoh, potensi plasma nutfah
bibit ruminansia( hewan besar seperti sapi, kerbau, kambing, domba,dll)
di Indonesia sangat melimpah dan variatif. Namun potensi ini hanya
sebagian kecil yang menjadi perhatian pemerintah. Pengembangan kearah
terciptanya peniNgkatan produksi atas bibit tersebut sebagian besar
hanya sebatas penelitian dan impelemntasi kebijakan, namun tidak fokus
pada program peningkatan skill budidaya masyarakat lokal. Selain itu,
semakin majunya perkembangan pasar dan adanya tuntutan global, mendorong
banyaknya pemain pasar peternakan besar mengambil kesempatan untuk
memberikan kemudahan dalam pemenuhan aspek kebutuhan atas produk pangan
asal hewan. Jalan pintas yang saat ini diambil karena ketidakmampuan
atas ketersediaan kapasitas produksi lokal bahan pangan asal hewan
(terutama daging) adalah dengan melakukan berbagai inisiasi pemenuhan
produk pangan asal hewan yang berasal dari luar negeri (impor).
Kesempatan yang sangat luas dan terbuka lebar yang diberikan oleh
pemerintah, mendorong berbagai pihak terutama pemain/pedang besar
melakukan opsi importasi besar-besaran dalam rangka memenuhi permintaan
dan kebutuhan pasar dalam negeri. Pada saat ini, masyarakat dituntut
untuk memilih memenuhi kebutuhannya dengan produk pangan asal impor,
namun sebagian masyarakat masih meyakini bahwa produk pangan asal lokal
masih mempunyai kepercayaan tersendiri dikalangan masyarakat tertentu.
Disisi lain, tantangan yang harus menjadi perhatian adalah pada jalur
hulu peternakan Indonesia. Kurangnya perhatian pemerintah terhadap
pengembangan dan pembinaan peternak lokal menjadi faktor lemahnya
advokasi dan kepedulian terhadap peningkatan kapasitas produksi
peternakan. Aplikasi terkait good farming practices (Cara beternak yang
baik) kurang diterapkan secara maksimal dan terintegrasi kepada peternak
lokal dan kecil, kebanyak perhatian atas pembinaan dan edukasi ini
hanya intensif diberikan pada peternak besar dalam rangka peningkatan
produksi dalam negeri maupun untuk eksportasi. Pembinaan secara serentak
dan menyeluruh terhadap sistem manajemen mutu budidaya peternakan belum
secara konsep maupun teknis diterapkan dalam pengelolaan budidaya
peternakan di Indonesia.
Aspek lain yang tidak kalah pentingnya dalam tantangan peternakan saat
ini adalah terkait ketersediaan bahan baku pakan dan pakan hewan.
Meskipun sumberdaya alam Indonesia sangat melimpah, tidak menjadikan
Indonesia sebagai salah satu lumbung bahan baku pakan dan pakan hewan.
Seharusnya dengan potensi tersebut Indonesia mampu mengambil peran
terutama dalam penyediaan pakan dalam negeri. Namun pada kenyataannya,
eksplorasi dan pemberdayaan bahan baku pakan dan pakan asal lokal belum
menjadi prioritas utama dalam memenuhi kebutuhan pakan ternak bagi
peternakan di Indonesia. Budidaya Bahan baku pakan dan pengolahan pakan
Masih terbatas hanya skala rumah tangga oleh masyarakat peternak lokal.
Kurang dibekalinya pembinaan,sosialisasi dan advokasi diseluruh peternak
lokal dengan regulasi dan pedoman teknis serta kurang didukung oleh
edukasi dan ketersediaan teknologi baik informasi dan sarana pengolahan
bahan baku pakan yang mudah, terjangkau dan modern menjadikan efisiensi
dan efektifitas terhadap pengolahan pakan menjadi tidak maksimal dan
hanya seadanya saja. Hal ini sangat memprihatinkan sehingga kualitas dan
mutu pakan yang dikonsumsi oleh ternak-ternak lokal menjadi rendah dan
peningkatan pertumbuhan berat badan ternak menjadi tidak signifikan.
Dalam pengelolaan dan pengolahan pakan mandiri oleh peternak lokal,
selain hal yang telah disebutkan diatas, maka hal lain yang menjadi
kesulitan peternak ialah tingginya harga bahan baku tambahan pakan
seperti obat, vitamin dan mineral yang tidak bisa dijangkau secara
langsung Oleh peternak. Pemberdayaan bahan baku asal lokal belum secara
maksimal menjadi perhatian pemerintah, hal ini dibuktikan hampir 90%
bahan baku pakan baik utama maupun penunjang masih dipenuhi oleh bahan
baku impor. Adanya kesenjangan dan kesempatan kurang potensialnya
pemenuhan bahan baku pakan dan pakan ternak lokal, memicu pengusaha dan
pedang besar mengambil porsi yang sangat besar dalam penyediaan bahan
baku pakan dan pakan ternak untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
Sebagian besar penyediaan bahan baku pakan dan pakan banyak dikuasai
oleh peternak besar dengan mendirikan unit usaha pengolahan pakan
mandiri skala besar yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan peternakan
kalangan mereka sendiri maupun untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal dan
pasar luar negeri. Dalam hal ini peternak lokal dengan plasma nutfah dan
keterbatasan pakan yang tinggi, menuntut mereka mengambil alternatif
lain dalam peningkatan kapasitas produksi dengan mengikuti trend saat
ini yaitu menggunakan bahan pakan jadi yang diproduksi oleh pengusaha
atau peternak besar yang melakukan pengolahan pakan. Tingginya harga
pakan jadi tidak menjadikan seluruh masyarakat peternak memilih
menggunakan pakan tersebut. Yang saat ini ditempuh oleh peternak lokal
dengan keterbatasan biaya pengadaan pakan hanya mengambil langkah
alternatif lain yaitu dengan tetap mempertahankan cara pengolahan pakan
secara tradisional dan konvesional tanpa didukung pengetahuan dan
teknologi terkini dan modern.
Tantangaa terbesar lainnya dalam tatakelola peternakan Indonesia adalah
terkait penyakit hewan yang senantiasa tidak dapat terpisahkan oleh
apapun. Dalam bidang peternakan, penyakit hewan sudah menjadi bagian
keseharian yang sangat penting yang menentukan keberhasila peningkatan
produksi ternak itu sendiri. Secara cermat penyakit ternak sangat
bervariasi dari satu jenis ternak dengan jenis ternak lainnya dan dapat
ditularkan dari satu ternak ke ternak lainnya atau jenis lainnya.
Penyakit pada ternak sendiri, tidak dapat diprediksi secara tepat kapan,
dimana dan oleh apa pemicunya. Hal ini sangat dinamis dan banyak
dipengaruhi baik oleh faktor internal maupun eksternal ternak atau hewan
itu sendiri. Faktor internal munculnya penyakit adalah kurangnya daya
tahan tubuh ternak yang sebagian besar dipicu oleh kurangnya asupan
pakan yang bergizi, kebersihan tubuh ternak yang kurang memadai,
penularan penyakit oleh ternak lainnya. Faktor eksternal yang sering
mempengaruhi adalah kondisi geografis dan iklim di Indonesia yang sangat
variatif. Dimana kita ketahui, Indonesia adalah negara tropis yang
tingkat perubahan cuaca dan kelembabannya sangat tinggi, hal ini banyak
mempengaruhi kondisi ternak dimana seperti pada musim hujan, maka
potensi terjadinya serangan wabah penyakit sangat besar. Penyebaran
penyakit menjadi sangat cepat karena didukung oleh kondisi alam seperti
banjir, angin dan cuaca lainnya. Selain itu, perdagangan ternak melalui
lalu lintas ternak diberbagai daerah yang tinggi menjadi salah satu
sarana penyebaran penyakit yang sangat potensial. Migrasi ternak dari
satu daerah ke daerah yang lain harus menjadi perhatian pada setiap
pintu-pintu masuk (entry point) agar penyebaran penyakit dapat
dikendalikan. Ketersediaan obat dan vaksin penyakit ternak memegang
peranan penting dalam pengendalian penyakit. Ketersediaan yang masih
banyak dipenuhi dari luar negeri menjadikan biaya dan harga obat-obatan
ternak menjadi mahal. Kapasitas produksi obat hewan dalam negeri yang
belum mencukupi pasar lokal serta distribusi obat hewan yang belum
merata menjadikan penanggulangan dan pencegahan penyakit hewan belum
dapat seutuhnya ditangani dan dikendalikan. Selain itu, keterbatasan
tenaga medis dan tenaga kesehatan hewan menjadi tantangan tersendiri
dalam pengelolaan manajemen pengendalian dan pemberantasan penyakit
hewan. Dibutuhkan organisasi kesehatan hewan dan sumberdaya manusia yang
memadai ditinngkat daerah dengan didukung oleh regulasi,komitmen dan
kebijakan yang strategis pada tiap daerah dan wilayah dalam rangka
melakukan pengendalian dan pemberantasan penyakit pada ternak. Terkait
masalah adanya penyakit menular yang berpotensi menular dari hewan ke
manusia atau sebaliknya (Zoonosis) harus menjadi perhatian semua pihak.
Pemasukan dan perdagangan ternak dari saat daerah ke daerah lain harus
memperhatikan aspek tersebut sehingga potensi penularan dapat
diminimalkan. Maraknya kebijakan importasi ternak maupun hasil ternak
menjadi salah satu alternatif masuk penyakit hewan ke dalam wilayah
Indonesia, apabila tidak menggunakan kaidah pengkajian atas risiko apa
saja yangn terjadi apabila dilakukan importasi tersebut, maka potensi
penularan penyakit dari luar kedalam wilayah Indonesia sangat besar.
Berdasarkan informasi dari lembaga kesehatan hewan dunia
(OIE/Organization Internationale des Epizootica) menginformasikan bahwa
diberbagai wilayah belahan dunia atau negera tertentu masing-masing
memiliki riwayat penyakit hewan yang berbeda-beda dan bervariasi dan
apabila lalu lintas antar negara dibuka maka potensi Risiko penularan
penyakit hewan sangat tinggi. Perlu aspek kehati-hatian dalam mengambil
pilihan dan kebijakan dalam melakukan importasi ternak maupun bahan
pangan asal ternak. Akibat dan efek yang terjadi apabila terjadi wabah
penyakit yang disebabkan oleh penularan penyakit tersebut adalah
berdampak pada masalah ekonomi nasional yang dapat mempengaruhi usaha
peternakan nasional. Apabila terjadi wabah penyakit yang menyebabkan
tingkat kesakitan dan kematian yang tinggi sehingga produksi ternak
menurun secara drastis, maka yang mengalami kerugian secara ekonomi
tidak hanya peternak besar namun peternak kecil juga merasakan dampak
dari kerugian skala nasional tersebut.
Aspek lain yang menjadi tantangan adalah pengelolaan dan distribusi
rantai pemasaran hasil peternakan. Pada saat ini, perkembangan rantai
hilir peternakan sudah sangat maju dan hal tersebut banyak dibuktikan
dengan bermunculan berbagai produk olahan asal pangan hewan yang sudah
banyak menghiasi pasar nasional. Berbagai pihak berlomba-lomba untuk
menciptakan dan membuat produk pangan asal hewan yang inovatif dan
efisien sesuai kebutuhan masyarakat saat ini. Tak dipungkiri geliat
usaha pengolahan bahan pangan asal hewan sudah mulai berkembang pesat
dan menjamur baik skala besar maupun skala kecil. Pengolahan pangan asal
hewan skala besar banyak dikuasai oleh hanya sekelompok kalangan
tertentu dan berbanding terbalik dengan kondisi industri pengolahan
pangan asal hewan skala kecil. Pengusaha skala besar memiliki sumberdaya
yang sangat memadai dengan ditunjang oleh sumberdaya manusia yang
kompeten dalam melakukan proses produksi pengolahan bahan pangan asal
hewan. Namun sebaliknya usaha skala kecil memiliki keterbatasaan yang
sangat besaar baik dalam aspek manajemen pengolahan, pembiayaan,
sumberdaya manusia dan sarana. mereka melakukan kegiatan pengolahan
hanya dengan menggunakan sarana terbatas. Hal ini harus menjadi
tantangan pemerintah bagaimana melakukan pemberdayaan dan pemanfaataan
terhadap potensi usaha skala kecil. Kurangnya edukasi dan pembinaan
menjadi hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Pemberian informasi
dan kesetaraan pelayanan ditingkat pemerintahan harus dilakukan kepada
usaha skala besar maupun skala kecil.
Dalam hal pemenuhan rantai distribusi bahan pangan asal hewan menjadi
aspek yang sangat penting dan signifikan. Rantai distribusi menjadi
salah satu penentu aspek ekonomi yang kritis. Dimana bisa kita amati,
kenaikan harga bahan pangan asal hewan bisa terjadi karena rantai
distribusi yang panjang. Banyaknya berbagai pihak yang terlibat dalam
rantai tersebut menyebabakan biaya (cost) yang dikeluarkan dalam rangka
mencapai konsumen semakin besar. Pihak yang sangat diuntungkan dalam hal
ini adalah usaha-usaha yang dapat mengelola rantai pasar tersebut baik
dari hulu maupun sampai hilir secara mandiri. Mereka mengelola rantai
pasar pangan asal hewan dengan manajemen mandiri yang dapat memperkecil
biaya distribusi yang dikeluarkan. Sebaliknya usaha-usaha kecil hanya
mengandalkan modal dasar dan distribusi sepenuhnya dikendalikan oleh
pihak ketiga atau pihak lain yang berpotensi menyebabkan terjadi
kenaikan harga pangan asal hewan karena masing-masing pihak yang
terlibat mengambil untung yang sebesar-besarnya. Hal ini, berdampadaknya
kenaikan bahan pangan asal hewan ditingkat konsumen menjadi sangat
tinggi. Lemahnya pengelolaan rantai distribusi pasar pangan asal hewan
pada usaha skala kecil menjadi tantangan tersendiri dalam pembenahan
Manajemen distribusi pangan asal hewan. Perlu regulasi dan kebijakan
yang tegas ditingkat eksekutif agar dapat menyelamatkan usaha kecil
menengah bidang peternakan agar dapat bergerak maju dan eksis sesuai
tuntutan perubahan dan zaman.
Sumber: Mayati,Ides. 2016. Tantangan dan Permasalahan Di Indonesia. http://ldesmayanti.blogspot.co.id/2016/08/tantangan-dan-permasalahan-peternakan.html. Diakses 10 Januari 2017
Peternakan untuk masa depan
Selasa, 10 Januari 2017
Pengembangan Peternakan Indonesia dalam Peningkatan Ketahanan Pangan
Pengembangan kawasan industri peternakan dari hulu sampai hilir akan merupakan pilihan utama untuk menggapai harapan. Indonesia
mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan asal ternak sendiri dan malahan
berpotensi menjadi negara pengekspor produk peternakan. Hal tersebut
sangat mungkin diwujudkan karena ketersediaan sumber daya lahan dengan
berbagai jenis tanaman pakan dan keberadaan SDM yang cukup
mendukung.Untuk tingkat konsumsi yang akan menentukan kualitas sumber
daya manusia dipengaruhi oleh tingkat ketersediaan daging dan produksi
ternak lainnya dan tingkat pendapatan rumahtangga (purchasing power).
Menurut data BPS, provinsi yang memiliki populasi sapi potong lebih dari 0,5 juta ekor berturut turut adalah Provinsi Jawa Timur 4,7 juta ekor;
Jawa Tengah 1,9 juta; Sulawesi Selatan 984 ribu ekor; Provinsi NTT
778,2 ribu ekor; Lampung 742,8 ribu ekor; NTB 685,8 ribu ekor; Bali
637,5 ribu ekor; dan Sumatera Utara 541,7 ribu ekor. Sementara itu untuk
sapi perah populasi terbanyak di Jawa Timur 296,3 ribu ekor sedangkan
kerbau di NTT sebanyak 150 ribu ekor. Peterrnak merupakan hewan
peliharaan yang produknya diperuntukkan sebagai penghasil pangan, bahan
baku industri, jasa, dan atau hasil ikutannya yang terkait dengan
pertanian. Dalam kegiatan ini, ternak yang dimaksudkan adalah Sapi
Potong, Sapi Perah, dan Kerbau. Segala urusan yang berkaitan dengan
sumber daya fisik, benih, bibit dan atau bakalan, pakan, alat dan mesin
peternakan, budidaya ternak, panen, pascapanen, pengolahan, pemasaran,
dan pengusahaannya.
Di
Indonesia wilayah yang merupakan sumber utama ternak sapi potong adalah
Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, NAD, Sumatera Barat, Bali,
NTT, Sumsel, NTB, dan Lampung. Kemudian wilayah yang mempunyai potensi
cukup besar untuk ternak kambing dan domba adalah Jawa Tengah, Jawa
Timur, Jawa Barat, Lampung, Sumut, NAD, Banten, dan Sulsel. Sedangkan
wilayah yang potensial untuk perkembangan ternak domba adalah Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten.
Untuk
tingkat konsumsi protein hewani di Indonesia pada tahun 2011 hanya 4,7
gram per orang per hari. Angkat ini sangat rendah jika dibandingkan
dengan Malaysia, Thailand, dan Filipina yang rata-rata 10 gr/orang/hari.
Sementara Korea, Brasil, dan China sekitar 20-40 gram/orang/hari.
negara-negara maju seperti Amerika Serikat, prancis, Jepang, Kanada, dan
Inggris mencapai 50-80 gr/kapita/hari. Untuk itu , Peternak berskala
kecil dan menengah diberi prioritas untuk melakukan usaha budidaya dan
pengembangbiakan ternak Indonesia yang kehidupannya masih alami dan
belum tersentuh teknologi namun berpotensi ekonomi, misalnya ternak ayam
Indonesia (baik asli maupun lokal).
praktisi
di bidang peternakan, maupun masyarakat luas harus difasilitasi dan
dibina dalam upaya meningkatkan mutu genetik ternaknya melalui program
persilangan yang secara ekonomis memang dapat meningkatkan pendapatan
dan kesejahteraan peternaknya. Indonesia,
dengan penduduk yang hampir mencapai 237 juta jiwa ternyata
mengkonsumsi telur dan daging ayam yang relatif rendah dibanding di
negara-negara tetangga. Rata rata konsumsi telur nasional 87 butir/
kapita/tahun dan daging ayam 7kg/kapita/tahun, bandingkan dengan
konsumsi telur di Malaysia yang mencapai 311 butir/kapita/tahun (hampir 1
butir/kapita/hari) dan daging ayam mencapai 36 kg/kapita/tahun. Dalam
hal ini perlu upaya serius harus dilakukan oleh berbagai pihak dalam meningkatkan konsumsi protein hewani tersebut.Sumber: Purba,Frans Hero Kamsia. 2012. Pengembangan Peternakan Indonesia dalam Peningkatan Ketahanan Pangan . http://heropurba.blogspot.co.id/2012/08/pengembangan-peternakan-indonesia-dalam.html . 10 Januari 2017
Minggu, 08 Januari 2017
REGULASI PETERNAKAN DI INDONESIA
Usaha peternakan di Indonesia secara tradisional sudah ada jauh
sebelum proklamasi kemerdekaan. Semakin berjalannya waktu, usaha yang
dimiliki peternak semakin efisian dan berkembang. Upaya awal dalam
memberikan regulasi bidang peternakan di Indonesia berawal dalam
Staatsblad 1936 No. 614 tentang pemotongan ternak besar betina
bertanduk. Peraturan tersebut berisi mengenai pembatasan ternak betina
produktif dalam upaya menjaga produktivitas dan populasi ternak.
Peraturan tersebut dipandang perlu oleh pemerintah Hindia Belanda saat
itu.
Setelah proklamasi kemerdekaan, pemerintah masih disibukkan mengenai kedaulatan sehingga belum terbentuk regulasi baru mengenai peternakan. Hingga pada tahun 1967 terbentuklah UU No. 6 Tahun 1967 mengenai ketentuan-ketentuan pokok peternakan dan kesehatan hewan. Aturan tersebut berisi mengenai kejelasan posisi usaha peternakan dan peraturan dalam veteriner.
Tahun 1979 dibentuk regulasi dalam Instruksi Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian No. 18/1979 dan No. 5/Ins/Um/3/1979 mengenai pencegahan dan pelarangan pemotongan ternak sapi/kerbau betina bunting dan atau susu sapi/kerbau betina bibit. Peraturan tersebut secara garis besar membatasi pemotongan ternak betina dan merupakan turunan dari Staatsblad 1936 No. 614. Dalam hal ini pemerintah berpandangan mengenai pentingnya jumlah populasi ternak betina produktif sebagai penunjang populasi ternak.
Tahun 1983 pemerintah mengeluarkan peraturan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 22 Tahun 1983 mengenai kesehatan masyarakat veteriner. Peraturan ini dibentuk atas pandangan pemerintah mengenai potensi zoonosis di Indonesia. Berdasarkan potensi tersebut regulasi mengenai penanganan dan penanggulangan zoonosis dibentuk agar dalam kedepannya kejadian dapat tertangani dengan baik.
Setelah masa reformasi pemerintah mengeluarkan beberapa regulasi di bidang peternakan. Regulasi tersebut lebih berarah pada aspek ekonomi usaha peternakan. Otonomi daerah diberlakukan yang memberikan kewenangan pemerintah daerah membentuk peraturan daerah. Oleh karena itu beberapa pemerintah daerah mengeluarkan peraturan yang pada intinya merupakan turunan dari UU No. 6 Tahun 1967 mengenai ketentuan-ketentuan pokok peternakan dan kesehatan hewan. Contoh dari perda yang dibuat adalah Peraturan Daerah Kota Tarakan nomor 18 tahun 2003 tentang izin usaha budidaya peternakan; Peraturan Daerah Kota Makassar nomor 4 tahun 2003 tentang ketentuan perizinan usaha di bidang peternakan dan pengenaan retribusi atas pemeriksaan kesehatan hewan serta daging dalam wilayah Kota Makassar; Peraturan Daerah Kabupaten Padang Pariaman nomor 6 tahun 2009; dan Peraturan Daerah Kabupaten Poso nomor 7 tahun 2010. Perda tersebut di atas lebih membahas regulasi mengenai aspek ekonomi usaha peternakan dan retribusi berdasarkan sekala usaha.
Lain halnya Perda di atas, terdapat pertentangan pada Undang – undang nomor 18 tahun 2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan. Hal yang dipertentangkan adalah Pasal 44 ayat (3), Pasal 59 ayat (2) dan (4), serta Pasal 68 ayat (4). Pasal tersebut telah melalaikan aspek keamanan konsumsi daging impor. Sehingga dinilai pemerintah mengabaikan keamanan pangan dan membuka impor besar besaran. Pada Pasal 44 ayat (3) disebutkan bahwa pemerintah tidak memberikan kompensasi atas depopulasi terhadap hewan yang terjangkit penyakit. Dari penjelasan tersebut akan memebrikan dampak negatif terhadap peternak dan kemajuan peternakan nantinya. Walaupun terdapat pertentangan, undang-undang ini tetapi sudah dijadikan sebagai dasar penyusunan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pandangan penulis secara garis besar perundang-undangan dalam bidang peternakan di Indonesia memiliki beberapa kekurangan, diantaranya :
Sumber : Setyo,Hermawan. 2014. Regulasi Peternakan Di Indonesia. http://hermawansetyo.my.id/regulasi-peternakan-di-indonesia-sudah-layakkah/. 8 Januari 2017
Setelah proklamasi kemerdekaan, pemerintah masih disibukkan mengenai kedaulatan sehingga belum terbentuk regulasi baru mengenai peternakan. Hingga pada tahun 1967 terbentuklah UU No. 6 Tahun 1967 mengenai ketentuan-ketentuan pokok peternakan dan kesehatan hewan. Aturan tersebut berisi mengenai kejelasan posisi usaha peternakan dan peraturan dalam veteriner.
Tahun 1979 dibentuk regulasi dalam Instruksi Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian No. 18/1979 dan No. 5/Ins/Um/3/1979 mengenai pencegahan dan pelarangan pemotongan ternak sapi/kerbau betina bunting dan atau susu sapi/kerbau betina bibit. Peraturan tersebut secara garis besar membatasi pemotongan ternak betina dan merupakan turunan dari Staatsblad 1936 No. 614. Dalam hal ini pemerintah berpandangan mengenai pentingnya jumlah populasi ternak betina produktif sebagai penunjang populasi ternak.
Tahun 1983 pemerintah mengeluarkan peraturan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 22 Tahun 1983 mengenai kesehatan masyarakat veteriner. Peraturan ini dibentuk atas pandangan pemerintah mengenai potensi zoonosis di Indonesia. Berdasarkan potensi tersebut regulasi mengenai penanganan dan penanggulangan zoonosis dibentuk agar dalam kedepannya kejadian dapat tertangani dengan baik.
Setelah masa reformasi pemerintah mengeluarkan beberapa regulasi di bidang peternakan. Regulasi tersebut lebih berarah pada aspek ekonomi usaha peternakan. Otonomi daerah diberlakukan yang memberikan kewenangan pemerintah daerah membentuk peraturan daerah. Oleh karena itu beberapa pemerintah daerah mengeluarkan peraturan yang pada intinya merupakan turunan dari UU No. 6 Tahun 1967 mengenai ketentuan-ketentuan pokok peternakan dan kesehatan hewan. Contoh dari perda yang dibuat adalah Peraturan Daerah Kota Tarakan nomor 18 tahun 2003 tentang izin usaha budidaya peternakan; Peraturan Daerah Kota Makassar nomor 4 tahun 2003 tentang ketentuan perizinan usaha di bidang peternakan dan pengenaan retribusi atas pemeriksaan kesehatan hewan serta daging dalam wilayah Kota Makassar; Peraturan Daerah Kabupaten Padang Pariaman nomor 6 tahun 2009; dan Peraturan Daerah Kabupaten Poso nomor 7 tahun 2010. Perda tersebut di atas lebih membahas regulasi mengenai aspek ekonomi usaha peternakan dan retribusi berdasarkan sekala usaha.
Lain halnya Perda di atas, terdapat pertentangan pada Undang – undang nomor 18 tahun 2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan. Hal yang dipertentangkan adalah Pasal 44 ayat (3), Pasal 59 ayat (2) dan (4), serta Pasal 68 ayat (4). Pasal tersebut telah melalaikan aspek keamanan konsumsi daging impor. Sehingga dinilai pemerintah mengabaikan keamanan pangan dan membuka impor besar besaran. Pada Pasal 44 ayat (3) disebutkan bahwa pemerintah tidak memberikan kompensasi atas depopulasi terhadap hewan yang terjangkit penyakit. Dari penjelasan tersebut akan memebrikan dampak negatif terhadap peternak dan kemajuan peternakan nantinya. Walaupun terdapat pertentangan, undang-undang ini tetapi sudah dijadikan sebagai dasar penyusunan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pandangan penulis secara garis besar perundang-undangan dalam bidang peternakan di Indonesia memiliki beberapa kekurangan, diantaranya :
- Keberadaan perda yang mengatur peternakan di daerah namun secara garis besar merupakan turunan dari peraturan di atasnya. Dengan demikian hanya akan menimbulkan ketimpangan dan menurunkan potensi pengembangan daerah. Penurunan potensi pengembangan daerah dapat terjadi karena perda digeneralisasikan sehingga potensi pada suatu daerah dapat tertutupi.
- Kurangnya peraturan peternakan yang mencakup keseluruhan bidang. Peraturan saat ini hanya beroreintasi pada aspek ekonomi usaha peternakan. Padahal dengan adanya aturan mengenai kesejahteraan hewan dapat berdampak baik pada perbaikan produk peternakan. Aspek peraturan mengenai manajemen limbah yang lebih spesifik diperlukan pula untuk menjaga kondisi alam nasional dan dunia.
Sumber : Setyo,Hermawan. 2014. Regulasi Peternakan Di Indonesia. http://hermawansetyo.my.id/regulasi-peternakan-di-indonesia-sudah-layakkah/. 8 Januari 2017
KOMPLEKSITAS MASALAH PETERNAKAN DI INDONESIA
Sektor riil pertanian khususnya peternakan masih dipandang sebelah mata
oleh kalangan masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini ditunjukkan
dengan masih minimnya minat generasi muda yang ingin menekuni bidang peternakan
di jenjang perguruan tinggi.
Pencitraan yang salah kaprah terhadap
pekerjaan seorang peternak, membuat generasi muda kian enggan menggeluti sektor
ini. Mereka cenderung memilih kerja sebagai pegawai berpakaian rapi
dibanding menjadi peternak yang mengurusi kandang. Jika hal ini
berlanjut sangat memprihatinkan bagi kemajuan sektor peternakan di
Indonesia.
Sebagai negara agraris Indonesia, kita kaya akan sumber daya
hayati, mulai dari varietas tanaman dan hortikultur yang beragam hingga
berbagai spesies ternak yang berpotensi untuk di budidayakan, sebut saja Sapi Bali, Sapi Sumba Ongole atau bahkan Ayam Lokal (kampung). Sapi
Bali merupakan spesies Bossundaicus yang hanya ada di Indonesia
mempunyai performa baik di berbagai lingkungan walaupun dengan kondisi
pakan seadanya dan memiliki reproduktivitas yang tinggi. Begitu pula
dengan Sapi Sumba Ongole. Sedangkan ayam kampung Indonesia menurut LIPI dan
lembaga International Livestock Reasearch Institute (ILRI) merupakan
salah satu dari empat nenek moyang ayam yang ada di dunia saat ini. Melihat
hal tersebut dapat dikatakan bahwa peternakan merupakan komoditas
strategis yang harus dikembangkan.
Permasalahan yang ada di Indonesia ialah belum banyak pemain besar dalam
pembudidayaan ternak-ternak tersebut dan belum optimalnya dukungan
pemerintah sehingga komoditi lokal kalah bersaing dengan komoditi
impor. Di sinilah titik kritis dimana diperlukan pihak yang menjadi
garda terdepan utuk memikirkan pemecahan masalah peternakan di
Indonesia. Oleh karena itu, sosok generasi muda penerus bangsa sangat
dibutuhkan. Selain itu edukasi terhadap pentingnya sektor riil khususnya
peternakan perlu dibentuk di masyarakat. Pengetahuan dasar akan
komoditi konsumsi harian seperti daging, susu, dan telur merupakan bahan
pangan yang di dapat dari sektor peternakan.
Dalam perekonomian
terntunya komoditi pangan merupakan usaha yang tiada matinya karena
setiap harinya manusia memerlukan makanan. Selain itu bergairah usaha
kuliner seperti ayam bakar, steak, bakso hingga fastfood (off-farm) di
berbagai kota di Indonesia membuat dunia usaha peternakan tidak akan
mati selama diimbangi usaha di sektoron-farm.
Sumber: Misa,Dody. 2014.Kompleksitas Masalah Peternakan Di indonesia. http://dodymisa.blogspot.co.id/2014/10/kompleksitas-masalah-peternakan-di.html. 8 Januari 2017
Sumber: Misa,Dody. 2014.Kompleksitas Masalah Peternakan Di indonesia. http://dodymisa.blogspot.co.id/2014/10/kompleksitas-masalah-peternakan-di.html. 8 Januari 2017
Minggu, 18 Desember 2016
Membangun Ekonomi dari Peternakan
Sangatlah penting kemandirian suatu negara untuk memproduksi hasil
bumi sendiri apalagi kita Indonesia memiliki keanekaragaman hayati
ternak lokal yang melimpah seperti sapi bali, sapi madura, domba garut,
kambing kacang, ayam kampung dan itik Seharusnya sumber tenak lokal ini
memberi kontribusi untuk pertumbuhan Produk Bruto Domestik (PBD)
nasional untuk mencukupi kebutuhan konsumsi protein hewani
masyarakatnya.
Produk peternakan sampai saat ini menjadi barang “mahal” di Indonesia seperti daging sapi, daging ayam, telur dan susu. Mahal dalam artian harga produk cukup tinggi apalagi pada waktu-waktu tertentu sehingga susah dibeli dan dijangkau bagi masyarakat kelas bawah. Padahal mereka juga punya kesempatan untuk bisa menikmati daging, susu dan telur lebih banyak.
Sampai saat ini, sektor ekonomi peternakan masih seksi untuk dibahas kalangan pengusaha, praktisi, akademisi, stakeholder, bahkan mahasiswa di perguaruan tinggi. Terdapat beberapa aspek yang benar-benar perlu diperhatikan terkait dengan pembangunan peternakan untuk menunjang ketahanan pangan nasional, apabila dilihat sesuai jargon Presiden Jokowi yaitu mengimplementasikan Tri Sakti Bung Karno (berdaulat dalam bidang politik, berkepribadian dalam kebudayaan dan berdikari dalam bidang ekonomi) lengkap dengan konsep Nawacitanya.
Pertama, pemerintah harus sadar betul bahwa Indonesia sampai saat ini belum memiliki usaha pembibitan yang cukup untuk diandalkan. Bibit ternak seperti sapi merupakan aspek sangat penting keberadaanya untuk membangun kemajuan peternakan dengan orientasi sisi peningkatan populasi ternak. khusus untuk sapi, usaha pembibitan masih sulit berkembang sehingga tidak heran jika Indonesia masih banyak impor sapi bakalan dari negara lain seperti Australia.
Kedua, pemerintah Indonesia harus menghitung ulang dan jumlah angka kebutuhan nasional. Setiap daerah harus diperhitungkan lebih jelas pasokan dan kebutuhannya seperti Jabodetabek, Bandung, dan Surabaya karena daerah ini bisa dikatakan sebagai lumbang konsumsi daging nasional. Data yang akurat sangat penting agar tidak terjadi salah perhitungan.
Ketiga, menata ulang sistem pembangunan ekonomi peternakan rakyat dengan sistem kelompok atau kolektif disuatu tempat/lahan luas untuk peternakan. Untuk sektor hulu dimulai dari managemen pembibitan, pembesaran, dan penggemukan dengan baik yang perlu mendapatkan insentif dari pemerintah sehingga usaha ternak bisa berkelanjutan dan jauh lebih maju.
Dihilir termasuk pemasaran, pemerintah sebagai penguasa kebijakan publik perekonomian nasional untuk bisa melindungi para peternak rakyat dan pengusaha besar agar tetap kondusif sehingga diharapkan tidak ada mafia daging dan tidak ada permainan harga ternak lokal atau impor di pasar nasional. Sebagai contoh, hampir setiap menjelang hari raya besar seperti menjelang Idul Fitri, Idul Adha, harga daging sapi selalu tidak sama dan lebih tinggi dibandingkan di hari-hari biasanya. Dengan menata hilir peternak lokal juga diharapkan mendapat kesempatan untuk mengembangkan usahanya, bisa bersaing dengan peternak besar, dan mendapatkan profit yang besar juga.
Guna mewujudkan itu, sinergi antar lembaga baik pemerintah, asosiasi, dan swasta dibutuhkan untuk bersama-sama merencanakan, mengawasi, meneliti serta mengevaluasi dalam upaya pembangunan ekonomi peternakan yang bertumpu pada peternak lokal. Pemerintah tdak bisa bergerak sendiri tanpa ada bantuan pihak terkait.
Peran perguruan tinggi juga sangat penting untuk membantu arah kebijakan pemerintah yang berorientasi peningkatan ekonomi kerakyatan. Perguruan tinggi diharapkan agar selalu berupaya memanfaatkan hasil produk akademisnya dari berbagai disiplin ilmu untuk bisa dimanfaatkan bagi pembangunan ekonomi kerakyatan.
Arah kebijakan yang pro rakyat akan sangat diapresiasi apabila berguna dan tepat sasaran. Sehingga melalui kebijakan itu bisa saja menjadi peluang besar untuk mampu mengekspor produk hasil negeri sendiri yang akan berdampak kepada kesejahteraan masyarakat.
Kokohnya suatu negera negara akan dilihat sebera besar kekuatan ekonomi yang dibangun untuk menunjang ketahanan pangan nasionalnya seperti yang menjadi jargon politik pemerintah saat ini. Tentu saja, hal itu bukan pekerjaan yang gampang untuk dilakukan dalam periode lima tahun pemerintahan. Butuh perencanaan yang matang, anggaran yang efisien, koordinasi dan komunikasi pemerintah pusat dan daerah, pelaksanaan lapangan, dan pengawasan yang terintegrasi dengan evaluasi kerja. Jika jargon politik politik ini terimplementasi diharapkan pembangunan ekonomi peternakan lebih maju dan produktif sehingga Indonesia bisa mengeliminir ketergantungan ke negara lain yang pada akhirnya kedaulatan dan ketahanan pangan Indonesia yang menjadi impian mulia pemerintah bisa bener-bener terwujud.
Sumber : Usman,Ali.2015.Membangun Ekonomi Dari Peternakan https://gmnisumedang.wordpress.com/2016/01/07/membangun-ekonomi-dari-peternakan/, 8 Januari 2017
Produk peternakan sampai saat ini menjadi barang “mahal” di Indonesia seperti daging sapi, daging ayam, telur dan susu. Mahal dalam artian harga produk cukup tinggi apalagi pada waktu-waktu tertentu sehingga susah dibeli dan dijangkau bagi masyarakat kelas bawah. Padahal mereka juga punya kesempatan untuk bisa menikmati daging, susu dan telur lebih banyak.
Sampai saat ini, sektor ekonomi peternakan masih seksi untuk dibahas kalangan pengusaha, praktisi, akademisi, stakeholder, bahkan mahasiswa di perguaruan tinggi. Terdapat beberapa aspek yang benar-benar perlu diperhatikan terkait dengan pembangunan peternakan untuk menunjang ketahanan pangan nasional, apabila dilihat sesuai jargon Presiden Jokowi yaitu mengimplementasikan Tri Sakti Bung Karno (berdaulat dalam bidang politik, berkepribadian dalam kebudayaan dan berdikari dalam bidang ekonomi) lengkap dengan konsep Nawacitanya.
Pertama, pemerintah harus sadar betul bahwa Indonesia sampai saat ini belum memiliki usaha pembibitan yang cukup untuk diandalkan. Bibit ternak seperti sapi merupakan aspek sangat penting keberadaanya untuk membangun kemajuan peternakan dengan orientasi sisi peningkatan populasi ternak. khusus untuk sapi, usaha pembibitan masih sulit berkembang sehingga tidak heran jika Indonesia masih banyak impor sapi bakalan dari negara lain seperti Australia.
Kedua, pemerintah Indonesia harus menghitung ulang dan jumlah angka kebutuhan nasional. Setiap daerah harus diperhitungkan lebih jelas pasokan dan kebutuhannya seperti Jabodetabek, Bandung, dan Surabaya karena daerah ini bisa dikatakan sebagai lumbang konsumsi daging nasional. Data yang akurat sangat penting agar tidak terjadi salah perhitungan.
Ketiga, menata ulang sistem pembangunan ekonomi peternakan rakyat dengan sistem kelompok atau kolektif disuatu tempat/lahan luas untuk peternakan. Untuk sektor hulu dimulai dari managemen pembibitan, pembesaran, dan penggemukan dengan baik yang perlu mendapatkan insentif dari pemerintah sehingga usaha ternak bisa berkelanjutan dan jauh lebih maju.
Dihilir termasuk pemasaran, pemerintah sebagai penguasa kebijakan publik perekonomian nasional untuk bisa melindungi para peternak rakyat dan pengusaha besar agar tetap kondusif sehingga diharapkan tidak ada mafia daging dan tidak ada permainan harga ternak lokal atau impor di pasar nasional. Sebagai contoh, hampir setiap menjelang hari raya besar seperti menjelang Idul Fitri, Idul Adha, harga daging sapi selalu tidak sama dan lebih tinggi dibandingkan di hari-hari biasanya. Dengan menata hilir peternak lokal juga diharapkan mendapat kesempatan untuk mengembangkan usahanya, bisa bersaing dengan peternak besar, dan mendapatkan profit yang besar juga.
Guna mewujudkan itu, sinergi antar lembaga baik pemerintah, asosiasi, dan swasta dibutuhkan untuk bersama-sama merencanakan, mengawasi, meneliti serta mengevaluasi dalam upaya pembangunan ekonomi peternakan yang bertumpu pada peternak lokal. Pemerintah tdak bisa bergerak sendiri tanpa ada bantuan pihak terkait.
Peran perguruan tinggi juga sangat penting untuk membantu arah kebijakan pemerintah yang berorientasi peningkatan ekonomi kerakyatan. Perguruan tinggi diharapkan agar selalu berupaya memanfaatkan hasil produk akademisnya dari berbagai disiplin ilmu untuk bisa dimanfaatkan bagi pembangunan ekonomi kerakyatan.
Arah kebijakan yang pro rakyat akan sangat diapresiasi apabila berguna dan tepat sasaran. Sehingga melalui kebijakan itu bisa saja menjadi peluang besar untuk mampu mengekspor produk hasil negeri sendiri yang akan berdampak kepada kesejahteraan masyarakat.
Kokohnya suatu negera negara akan dilihat sebera besar kekuatan ekonomi yang dibangun untuk menunjang ketahanan pangan nasionalnya seperti yang menjadi jargon politik pemerintah saat ini. Tentu saja, hal itu bukan pekerjaan yang gampang untuk dilakukan dalam periode lima tahun pemerintahan. Butuh perencanaan yang matang, anggaran yang efisien, koordinasi dan komunikasi pemerintah pusat dan daerah, pelaksanaan lapangan, dan pengawasan yang terintegrasi dengan evaluasi kerja. Jika jargon politik politik ini terimplementasi diharapkan pembangunan ekonomi peternakan lebih maju dan produktif sehingga Indonesia bisa mengeliminir ketergantungan ke negara lain yang pada akhirnya kedaulatan dan ketahanan pangan Indonesia yang menjadi impian mulia pemerintah bisa bener-bener terwujud.
Sumber : Usman,Ali.2015.Membangun Ekonomi Dari Peternakan https://gmnisumedang.wordpress.com/2016/01/07/membangun-ekonomi-dari-peternakan/, 8 Januari 2017
Kondisi Peternakan Indonesia
Indonesia adalah negara kepulauan dengan 14.000 pulau
dan populasi penduduk sebanyak 223 juta jiwa pada tahun 2006. Pertanian
berperan penting dalam perekonomian Indonesia, terutama dalam
menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan masyarakat di pedesaan.
Pada tahun 2002 pendapatan dari upah pertanian dan usahatani merebut
pangsa 43% dari pendapatan keluarga, dan duapertiga dari total
kesempatan kerja di pedesaan. Ditinjau dari potensi sumberdaya alam,
selayaknya Indonesia mampu memenuhi kebutuhan pangan asal ternak sendiri
dan malahan berpotensi menjadi negara pengekspor produk peternakan.
Namun demikian, pembangunan budidaya ternak di Indonesia masih belum
berhasil dalam memenuhi sebagian dari kebutuhan dalam negeri, termasuk
rentan terhadap serangan penyakit hewan berbahaya. Sekarang Indonesia
masih mengimpor sapi hidup sebesar 30% dan produk susu sebesar 75% dari
kebutuhan konsumsi dalam negeri. Impor ternak hidup dan daging sapi
semakin meningkat akibat populasi ternak sapi mengalami kemerosotan
dalam dua dekade terakhir, diiringi dengan penurunan populasi kerbau
yang cukup tajam dari 3,6 juta ekor menjadi 2,4 juta ekor.Berbagai masalah pengembangan peternakan yang dihadapi di Indonesia, antara lain: rendahnya produktivitas, penyakit, manajemen, modal dan kelembagaan serta sosial-ekonomi peternakan. Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan produksi peternakan di Indonesia, terutama untuk pengembangan ternak sapi, termasuk upaya meningkatkan mutu genetik ternak lokal dan meningkatkan produksi ternak melalui hubungan yang saling mendukung antara tanaman dan ternak. Indonesia sekarang merupakan negara pengimpor hasil ternak terutama daging sapi, ternak hidup, dan bibit ayam ras. Ketergantungan ini sangat mempengaruhi perkembangan peternakan dalam negeri. Impor hasil ternak yang tinggi adalah sapi bakalan dari Australia yang cenderung terus meningkat.
Sumber : https://peternakanfpp.wordpress.com/prospek-peternakan-di-masa-depan/
Langganan:
Postingan (Atom)